Ayah, Bolehkah Putri Kecilmu

Memeluk mu  Sekali Lagi?

Oleh:Wiwit Kharisma Putri

Instagram: wkharismaptri

 

Di antara dinginnya senja yang merayap pelan, aku kembali mengingat wajahmu yang tak banyak berubah. Ada sesuatu di matamu—kehangatan yang pernah menjadi tempatku pulang, meski kini terasa seperti mimpi yang memudar di ujung malam.

Setelah orang tua ku mengalami kesulitan yang begitu berat. Akhirnya, membawa kita pada persimpangan yang berbeda. Hidup kita berubah seperti aliran sungai yang mengalir ke arah yang tak terduga. Aku sibuk banting tulang untuk membantu ibuku yang menjadi tulang punggung keluarga dan kamu mengejar mimpi-mimpi besar mu yang telah kau rencanakan sejak kita duduk dibangku sekolah. kamu menghilang dalam keramaian dunia yang tak bisa kugapai.

Yogyakarta, 11 November 2022

Perkenalkan namaku Dwita Lestari. Biasa di panggil tari kalo sudah sohib banget dan kalo baru kenal atau teman jauh biasa manggil aku dengan Dwi. Ya, menurutku tidak ada perbedaan dari nama-nama yang digelontorkan untuk menyapa diriku. Kalo ditanya apasih kesibukan ku sekarang?

Aku akan menjawab dengan lantang Aku kerja Romusha. Kerja dengan menghabiskan seluruh tenaga. Ayahku seorang supir di salah satu perusahaan sembako yang cukup eksis di Kota Surabaya. Sejak ayahku mengalami  lumpuh dan beberapa luka  berat akibat kecelakaan beberapa tahun yang lalu.

Tragedi naas tersebut membuat Aku dan ibuku harus kerja rodi setiap hari guna memenuhi kebutuhan kita dirumah. ada satu tanggungan yang membuat hidupku kepalang kabut adalah harus membayar hutang ayahku yang sudah merugikan perusahaan dimana dulu ayah bekerja.

Aku menghabiskan waktu ku untuk bekerja dan bekerja. Jika, tuhan memberikan mukjizat untuk diriku tidak tidur pun sepertinya, aku akan bekerja selama 24 jam agar secepat mungkin keluar dari zona menyedihkan seperti ini.

“Dwi nanti tolong bantuin ibu dulu ya buat anterin kue ke rumah tanta Nina,” Teriak ibuku dengan suara yang cukup keras dari arah dapur.

“Masih lama gak bu?” ujarku yang sedang tergopoh-gopoh dengan setumpuk koran yang siap ku sebarkan pagi ini.

Brug..Brug..Brug Suara derap langkah ibuku semakin dekat. Ternyata tebakan ku tepat sekali. Tidak lama dari itu sosok ibuku yang cantik ini muncul membawa keranjang roti bewarna biru yang sudah cukup usang warna nya.

“Nitip ya Dwi, Sekalian jalan!”Ujar ibuku lalu menyodorkan keranjang kue itu kearahku. Aku mengambil dan berpamitan untuk berangkat untuk menyelesaikan  misi ganda ini.

“Dwita gadis berumur 26 tahun yang memiliki nasib jauh dari kata beruntung. Tidak punya pacar, tidak punya teman tapi, memiliki seribu pekerjaan. Alias serabutan,”

Aku mengecek arloji yang terpasang ditanganku. Sudah menunjukan pukul 11:21 WIB. Aku memakirkan sepeda ku ditepian jalan. Mataku melirik ke kanan dan kekiri untuk  mencari pedagang kaki lima yang berjualan disekitaku.

“Akhirnya,” Ujarku spontan setelah berhasil menangkap pedagang batagor yang letak nya tidak terlalu jauh dari aku istirahat sekarang. Tanpa, menunggu lama kaki ku berjalan mendekat.

“Bang, ceban ya satu sambelnya dipisah,”

“Siap neng”

Setelah sekitar 5 menit menunggu akhirnya, hidangan pembuka hari ini telah sampai diantara jari jemariku. Tanpa menunggu waktu lama aku langsung menyantap dengan semangat 45.

“Semangat terus ya neng, memang hidup ini terkadang berat. Tapi, lebih berat lagi kalo gak dijalanin neng,”

Aku memberikan senyum tipis kemudian, segera berdiri lalu naik keatas sepedaku dan langsung melenggang menyusuri jalanan beraspal. Tidak lupa juga aku menyimpan sisa batagornya kedalam keranjang sepedaku.

Selama mengayuh sepedaku aku sempat berfikir ingin membeli buku favoritku yang sempat aku tunda beberapa bulan yang lalu. Alasan nya sangat sederhana. Aku tidak mempunyai cukup uang untuk bisa membeli barang tersebut. aku harus prioritas untuk kebutuhan ayah. Seperti untuk membeli pempers dan biaya berobat ke rumah sakit.

“Ibu Dwita pulang,” Aku segera memutar knop pintu rumah. Tapi, tidak ada siapa-siapa didalam rumah. Aku segera masuk ke kamar ibuku untuk mencari keberadaan ayahku namun, ternyata nihil.

Tanpa berfikir panjang aku langsung mencari ponselku yang terselip di tas canvas miliku. kemudian, aku langsung menghubungi ibuku.

Tut…Tut…Tut..

Tidak ada jawaban.

Terasa tubuhku mau ambruk ke lantai ditambah rasa cemasku sudah menyulut keseluruh tubuhku. Diikuti dengan rasa khawatirku, air mataku pun meluruh secepat kilat.

“Ayah, Dimana ayah!” Suaraku terdengar sanat parau serta tangisku sudah pecah tak terkendali.

Tidak lama setelah memanjatkan doa tiba-tiba saja ponselku berdering. aku langsung menggeser ‘Ok’

“Ayah dirumah sakit nak, kamu kalo mau kesini ibu nitip ya bawain amplop coklat yang ada di nakas kamar ibu,” suara ibuku terdengar sangar bergetar diujung telfon. Aku langsung bergegas dan langsung memesan gojek untuk ke rumah sakit.

Aku duduk di sisi tempat tidur ayah, menatap wajahnya yang mulai lelah oleh waktu. Kaki kanannya terbungkus perban tebal, membengkak dan membiru. Dokter bilang, infeksinya sudah parah, daging di sekitar luka itu mulai membusuk.

Aku tak bisa menahan air mata saat membayangkan rasa sakit yang diam-diam dia tanggung selama ini.

Ternyata selama ini ayah berbohong tentang lukanya.

“Ayah tidak apa-apa nak, maafin ayah ya selalu nyusahin kamu dan ibu. Bikin kamu banting tulang gantiin ayah selama ini. Kamu jadi kehilangan masa muda gara-gara ayah lumpuh. Ayah Cuma gak mau lagi, nyusahin kamu sama ibu lebih banyak lagi, Dan kalo ayah jujur dari awal ayah takut kamu jadi kerja tambah berat,” ujarnya dengan mata sayu tak mampu menyembunyikan rasa sakit yang menggulung di tubuhnya.

Dadaku seperti tersengat ribuan aliran Listrik. Mulutku mendadak membisu dan ada rasa sakit yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya ini sungguh menyakitkan.

Aku menahan sekuat tubuhku agar tak menangis histeris di depan ayahku sekarang. Aku hanya mampu mengangguk kecil saja. Dan ayah tersenyum tipis.

Ceklek

Pintu terbuka. Disana terlihat ibuku yang seperti orang linglung sambil membawa amplop coklat ditangan nya.

“Dwi, nanti kamu pulang ya kerumah nenek dan bawa uang nya kesini. Ibu terpaksa jual rumah kita yang di surabaya buat bayar hutang dan kita mulai fokus sama pengobatan ayah,”

Mataku terbelalak tak percaya. Tapi, hal ini juga sudah ada dalam bayangan ku. “Oke bu, besok Dwita kesana,”

Surabaya, 23 Oktober 2023

Masa kecilku yang indah pernah aku ciptakan disini aku bersama keluargaku. Kehidupan yang selalu menjadi Impian semua orang. Kebahagiaan serta senyum lepas selalu terdengar setiap harinya. Tanpa sadar, waktu berjalan dengan cepat dan penuh dengan teka-teki. Semuanya dibalikan dengan secepat dan semenakutkan itu.

Walaupun ini adalah suatu kenyataan yang pahit tapi, aku mulai belajar beradaptasi dengan alur yang sedang aku lewati. Tidak berharap menjadi yang terhebat namun, langkah demi langkah aku lewati dengan baik.

Aku tak ada hentinya menyapu  pemandagan sekelilingku. Entah karena, terlalu merindukan tempat ini atau mungkin saja aku hanya sedang berusaha menghibur diri dengan nasib ku yang sekarang. Tepat didepan matku aku melihat jembatan yang terlihat juga beberapa orang berlalu Lalang.

Ternyata masih sama aktivitas warga masih memanfaatkan jembatan ini dengan baik. Padahal kalo di fikir-fikir dengan era modernisasi ini segalany sudah mudah untuk mendatangi satu tempat ke tempat lainnya sudah tersedia fitur ojek online. Ternyata Sebagian dari Masyarakat sekitar masih seperti dulu dengan berjalan kaki menempuh tempat satu ke tempat lainnya.

Tanpa menuda aku langsung mengurus segala berkas agar cepat selesai dan aku bisa gentian dengan ibuku untuk jagain ayah. Ternyata sebelumnya ibu sudah sepakat dengan pembeli terkait harga jadi,aku tinggal langsung menyerahkan berkas dan akupun mendapat uang dengan cash.

Mataku memerah memegang tumpukan kertas bewarna merah ini membuat aku berandai-andai kapan aku bisa mencium bau surga dunia ini seperti dulu.

”Pdahal tadi udah Nerima Nasib tapi siapa emang yang tidak suka uang”Batinku

“Dwita, mbah minta tolong angkatin kerupuk yang dijemur diatas genteng”

Aku mendengar suara nenek ku langsung menjalankan sesuai perintah dan langsung menjajrkan nampan ke atas meja dapur yang sudah tidak memiliki identitas warna.

“sudah diangakt belum dwi kerupuknya? itu buat lauk besok kamu sekolah,” lantanya suara nenek berhasil membuat gendang telingaku cukup ngilu

“dasar pikun,”

Tiga Bulan Kemudian..

Suara monitor panjang berhasil membangunkan semua orang yang sedang terlelap dalam mimpinya. Seperti biasanya dinding-dinding Rumah Sakit selalu merekam segala penderitaan yang menimbulkan gejolak emosi pada setiap orang yang merasakan nya. Selain itu, ditempat inilah doa serta harapan tulus tercurahkan tanpa mengenal Lelah. Setitik harapan selalu muncul dalam benak untuk mendapatkan mukjizat akhir yang melegakan.

Dengan sekejab mata seseorang dengan seragam putih dengan beberapa orang dibelakang berlarian memasuki ruangan dengan tergesa-gesa. Dokter masih sibuk merangkai beberapa kabel panjang untuk memasangkan keatas dada ku saat ini. Sayup-sayup mataku melihat sekilas cahaya dan suara teriakan tangis yang memenuhi seluruh ruangan. Apakah ini adalah malam terakhir sukma dan ragaku menjadi satu?

Malam yang menyeramkan, aku benar-benar mempertaruhkan kekuatan ku untuk bertahan pada malam itu. Rasa sakit yang menjalar keseluruh tubuhku tak sebanding dengan teriakan seseorang yang selalu menyebut namaku dengan terisak.

”Nak,bangun ibu mohon” Terdengar tidak ada harapan yang lebih tulus dari permintaan seorang ibu kepada Ilahi. Semua orang yang menemaniku selama ini selalu berdoa begitu juga aku yang selalu mendengar semua doa itu  menjadikan alasan aku harus tetap bertahan walaupun, mataku tak mampu kubuka.

Tuhan dari lubuk hatiku ini. Aku memohon  dengan kelemahan diriku sebagai mahluk yang kau ciptakan. Aku memohon  untuk memberikan ku kesempatan sedikit lebih banyak untuk mendengar dan melihat senyum tipis orang-orang disekitarku seperti dulu.

Aku merasakan sakit yang luar biasa dengan tubuh ku yang kaku dan hati pilu. Aku mendengar segala harapan untuk kekuatan ku. Kumohon berikan aku kekuatan juga untuk membuka mataku. Jika telingan ku mampu menangkap segala hal yang terjadi selama tidur ku ini.

Lantas kenapa engkau tak memberikan kesempatan juga untuk mataku melihat dari orang-orang yang mengucap doa dan harapan itu tanpa henti?

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RUMAH PERTAMA